Akan Ada Era Penghormatan untuk para Koruptor di negeri ini?

Akan Ada Era Penghormatan untuk para Koruptor di negeri ini?

Benarkah suatu saat nanti akan lahir era penghormatan untuk para koruptor di negeri ini? Mereka bukan lagi musuh masyarakat yang dinistakan, melainkan justru dihormati. Korupsi bukan tindak kejahatan luar biasa, melainkan kejahatan biasa seperti pencurian sandal atau ayam. Tata cara “penghormatan” itu mulai kita rasakan, misalnya dengan menerapkan hukuman ringan (60 persen koruptor dihukum 1-2 tahun), remisi luar biasa, dan memberikan hak-hak istimewa sejak di tahanan hingga masuk penjara.



Peringatan HUT Ke-67 Kemerdekaan RI menjadi salah satu momentum untuk melegalkan penghormatan. Saat pemerintah memberikan remisi kepada 58.595 narapidana, 583 di antaranya koruptor, dan 32 bebas. Bandingkan dengan remisi untuk narapidana teroris, hanya 94 orang, dan narkoba 135 orang. Yang keterlaluan, Gayus Tambunan, salah satu “pelopor” korupsi pajak era reformasi itu mendapat pengurangan hukuman hingga empat bulan. Remisi ini serasa menjauhi rasa keadilan dan menyakiti rakyat.

Kenapa para elite dan kelompok tertentu tak henti-henti memuliakan koruptor? Selama ini, negara melalui aparatur sudah sibuk memanjakan mereka. Semakin besar uang negara yang dirampok, semakin besar pula perhatian aparat kepada mereka: mengubah sel menjadi”hotel” hukuman ringan, dan menghadiahi remisi besar. Hakikat penjara bukan lagi untuk menghukum, namun mengutamakan dimensi “kemanusiaan” dengan memberikan hak-haknya sehingga meniadakan efek jera.

Indonesia memang negeri pemaaf, begitu murah mengobral maaf untuk para koruptor. Penilap uang negara ini dibangunkan gedung tahanan khusus dengan segala fasilitasnya, sementara terpidana kelas teri ditumpuk di ruang sempit seperti benda mati. Semangat korup aparatur menemukan habitatnya bersama para tahanan koruptor. Kolaborasi itu melahirkan diskriminasi. Mengapa negara tidak memanjakan dan memuliakan terhukum kelas maling ayam, pencuri biji kakao, dan kapuk randu?

Berbagai cara ditempuh untuk menghormati koruptor, termasuk memanipulasi ritual agama-budaya menjadi ritual politik. Dalam masyarakat kita memaafkan menjadi kata sakti untuk menerima dan melupakan kesalahan orang lain. Saat masyarakat terlena, momentum Lebaran dan HUT Kemerdekaan pun dimanfaatkan untuk memaafkan para penjahat dengan modus grasi. Bukankah dalam primum remedium (obat utama) pidana korupsi perlu ketegasan hukum demi tegaknya supremasi hukum?

Di manakah semangat penghapusan remisi yang pernah didengungkan? Mari kita hentikan retorika-retorika itu. Jika serius ingin menerapkan hukum humanis, sepatutnyalah yang proporsional, bukan untuk para pelaku kejahatan luar biasa. Penguasa hendaknya bijak memahami tradisi saling memaafkan dan menghormati penegakan hukum. Penguasa tidak bisa seenaknya memberi ampunan, terutama untuk koruptor demi kelanggengan hegemoni kekuasaan para kleptokrat.

Sumber

Baca juga:

0 comments



Emoticon