Masih "L4" atau yang Baru?

Masih "L4" atau yang Baru?


AFP/PATRICK HERTZOG

Penyerang Inggris, Wayne Rooney (kanan), dan bek John Terry merayakan gol ke gawang Ukraina pada laga Grup D di Donetsk, Ukraina, Selasa (19/6). Jika Inggris juara, akan menghadirkan variasi wajah baru juara Eropa di luar tim yang sudah pernah kampiun seperti Perancis, Spanyol, dan Jerman.

Kejutan terbesar Euro 2012 adalah tersingkirnya Belanda di Grup B tanpa membawa nilai sebiji pun. Tim ”Kincir Angin” yang disesaki penyerang dan gelandang istimewa dipaksa pulang awal, meninggalkan kenangan buruk dan ”PR” besar.

Kenangan buruk itu lagi-lagi berkisar pada konflik internal, yang setidaknya terbaca dari larangan Pelatih Bert van Marwijk kepada Klaas-Jan Huntelaar untuk berbicara kepada media. Padahal, kepemimpinan ”tangan besi” Van Marwijk berhasil meredam ancaman konflik internal di Afrika Selatan dua tahun lalu sehingga kubu tim ”Oranye” relatif tak bergejolak.

Rupanya harmoni di dalam tim, khususnya hubungan ofisial dengan pemain, kini menjadi faktor negatif yang menyumbang kekompakan tim. Bisa dibayangkan sukarnya pelatih mengendalikan pemain-pemain berkelas ”superstar” dengan penghasilan setinggi langit yang merasa paling berhak diturunkan sebagai starter alias tak layak duduk di bangku cadangan.

Dan, justru kekompakan itu yang tak ada lagi di Belanda 2012. Sempat terjadi pertarungan ego antara Johan Cruyff dan Piet Keizer pada awal 1970-an, tetapi kinerja totaalvoetbal setidaknya mendongkrak Belanda jadi finalis Piala Dunia 1974 dan 1978. Di Piala Dunia 2010, para pemain ibarat menari di atas makam totaalvoetbal sambil menyuguhkan aksi kungfu ala Nigel de Jong atau Mark van Bommel, yang ibarat menendang apa saja.

Skrip totaalvoetbal sempat kita nikmati sekitar seperempat jam pertama Belanda vs Portugal. Akan tetapi, setelah itu Portugal yang masih tergolong middle power di Eropa mendikte permainan. Grafik ”Selecção das Quinas” dan Cristiano Ronaldo menanjak terus sehingga tak mudah bagi Ceko, yang bukan lagi ”Kereta Api Cepat dari Praha”, untuk menghadangnya.

Portugal tipikal tim yang tidak menganggap sukses datang dengan sendirinya dengan menempatkan motivasi sebagai modal utama. Mereka terpacu prestasi negeri jiran, Spanyol, yang mengawinkan dua mahkota juara dunia dan Eropa. Mereka finalis Euro 2004, empat besar Piala Dunia 2006, dan hanya takluk dari ”La Furia Roja” di perempat final Piala Dunia 2010.

Sebelum Euro 2012 dimulai, Portugal peringkat kelima FIFA. Bahkan, pada April 2010, Portugal menyodok ke peringkat ketiga. Walau tanpa playmaker yang layak menyandang nomor punggung 10, duet Ronaldo dan Nani cukup mampu menjalani peranan penting itu sekaligus bertindak sebagai finisher. Pada saat membaca artikel ini, Anda sudah tahu apakah Portugal atau Ceko yang lolos ke semifinal.

”Mental block”

Perempat final lain adalah Yunani melawan Jerman. Tak pelak lagi, ”Die Mannschaft” kali ini difavoritkan merebut gelar juara Euro untuk keempat kalinya setelah 1972, 1980, dan 1996. Rekor tim ”Panser” di babak penyisihan grup sempurna dengan tiga kemenangan dan fakta itu saja sudah cukup untuk mengatakan mereka takkan mampu dibendung Yunani, yang sering diguraukan sebagai ”the champion people don’t care”.

Justru masalah terberat yang menghadang Jerman adalah jika di semifinal menghadapi Italia. Sudah fenomena tersendiri, dalam sepak bola sering kali faktor mental block memengaruhi penampilan tim. Tiap kali melawan Italia di turnamen-turnamen besar, para pemain Jerman terbukti sudah seperti ”kalah sebelum bertanding”. Ingat Panser mogok di final Piala Dunia Spanyol 1982 dan semifinal Piala Dunia Jerman 2006?

Akan tetapi, statistik Euro memperlihatkan Jerman tak perlu khawatir karena kedua tim selalu bermain imbang. Di Euro 1988 di Jerman Barat, mereka membagi angka sama 1-1 di babak kedua penyisihan grup. Mereka lolos ke semifinal, tetapi tuan rumah Jerman Barat takluk 1-2 di tangan Belanda dan Italia ditundukkan Uni Soviet, 0-2. Di penyisihan grup Euro 1996 di Inggris, mereka bermain seri 0-0. Dan, kita tahu Jerman tampil sebagai juara kala itu.

Lagi pula tim ”Azzurri” kali ini, seperti halnya Inggris atau Perancis, relatif tim yang sedang menjalani masa formatif dengan mayoritas pemain debutan serta pelatih anyar. Bukan memandang sebelah mata ketiga kekuatan besar itu, melainkan justru mengasyikkan menyaksikan mereka bermain all-out tanpa beban karena tidak diunggulkan. Tentu akan cukup mengejutkan andai salah satu dari mereka tampil di final atau menjadi juara.

Mungkin ada benarnya jika sebagian pengamat mengatakan bahwa Pelatih Roy Hodgson sedang mencoba mengembalikan kick and rush football ala ”The Three Lions” seperti pada era 1980-an, minimal seperti saat mereka lolos sebagai semifinalis Piala Dunia 1990. Sebagian besar gol yang mereka ciptakan sepanjang Euro 2012 setidaknya menunjukkan itu: umpan-umpan melambung yang dieksekusi melalui sundulan para penyerang.

Sayangnya, Inggris keburu berjumpa Italia di perempat final dan Perancis mesti menjalani ujian terberat yang jadwalnya datang lebih cepat karena terpaksa menghadapi juara bertahan, Spanyol. Untuk konteks inilah yang menentukan hasil akhir bukan hanya para pemain di lapangan, melainkan juga pertarungan taktik antara Cesare Prandelli vs Hodgson dan Laurent Blanc vs Vicente del Bosque.

Bola memang bundar, tetapi Italia sedikit lebih diunggulkan daripada Inggris. Inggris bukannya mustahil menang, tetapi Italia tim yang sulit ditundukkan. Juga berlaku pemeo, ”Inggris bagus di babak pertama, tetapi kurang bagus di babak kedua; Italia kurang bagus di babak pertama, tetapi makin bagus di babak kedua”.

Spanyol lebih diunggulkan untuk mengatasi Perancis, tim yang kali ini tak didera konflik internal lagi berkat peran Blanc. Ibaratnya, selama pemain-pemain Perancis tidak kembali ke bus dan mogok berlatih, artinya semua oke. Masalahnya, mereka menghadapi sang juara bertahan yang makin karismatis.

Dalam bahasa Inggris, ”Spain is the team to beat”. Semua ingin mengalahkan Spanyol sebagai klimaks prestasi mereka. Dan, jika itu berhasil, ada bonus tambahan, yaitu berhasil pula menundukkan juara dunia. Persoalannya, tampaknya justru semakin sukar menaklukkan Spanyol kecuali ada pelatih lawan yang brilian mampu merumuskan formula jitu.

Dari tampilan lawan-lawan Spanyol, kelihatan jelas mereka cenderung melepaskan lini tengah pertanda pasrah. Tentu saja ini merupakan antiteori karena lini tersebut amat vital untuk dikuasai. Itulah yang dilakukan Kroasia dalam pertandingan penentuan Grup C dan juga, celakanya, Jerman di semifinal Piala Dunia 2010. Dalam kasus ekstrem, Belanda yang frustrasi terpaksa memeragakan ilmu-ilmu bela diri untuk merebut lini tengah dari Spanyol di final Piala Dunia 2010.

Sekali lagi, tiki-taka butuh minimal 800 operan selama 2 x 45 menit dan hanya Spanyol yang bisa melakukan itu karena bersandar pada prinsip bahwa sepak bola adalah a passing game. Juga butuh gelandang-gelandang kelas playmaker seperti Andres Iniesta dan Xavi Hernandez serta pemain jangkar (breaker) macam Xabi Alonso dan Sergio Busquets. Dan, diperlukan juga praktik ”hypnotic triangular” antar-pemain gelandang.

Itu sebabnya Spanyol masih difavoritkan mencetak hattrick menjadi juara Euro 2008, Piala Dunia 2010, dan Euro 2012. By popular demand, penggila bola ingin sekali menikmati final idaman antara sang juara bertahan melawan juara Euro tiga kali, Jerman. Akan tetapi, ada pula yang bermimpi idealnya turnamen menjadi ajang sirkulasi yang menyegarkan untuk menggilir negara-negara yang bukan ”L4” (lu lagi lu lagi) untuk menjadi juara baru Euro (baca: Inggris atau Portugal). 

Sumber : http://bola.kompas.com/read/2012/06/22/11394647/Masih.L4.atau.yang.Baru

Baca juga:

0 comments



Emoticon